Transcendental Images :
Self in History
Curated by: Asmudjo J. Irianto
Presenting:
Jim Allen Abel (Jimbo) | Laurent Millet | Made W. Valasara
Mathilde Lefort | Mujahidin Nurrahman
Dalam seni rupa kontemporer terjadi tegangan antara aesthetically correct dan politically correct. Hal ini tidak lepas dari benturan antara modernisme dan pos-modernisme. Seni rupa kontemporer mengandung kedua faham tersebut. Pada satu sisi otonomi seni masih bertahan, pada sisi lain karya seni juga diharapkan untuk dapat memberikan refleksi kritis pada persoalan manusia dan dunia. Tentu saja tidak ada yang sebetul-betulnya benar secara estetik, maupun secara politik dalam seni rupa, kedua komponen tersebut selalu menjadi bagian dari gagasan dan karya seniman. Pengertian estetik dan politik cair, tidak lepas dari sejarahnya. Seniman sebagai sosok otonom pun tidak lepas dari determinasi sejarah sosial-budaya-politik tempat hidupnya.
Dalam pameran ini tampil dua seniman Perancis, Laurent Millet dan Mathilde serta tiga seniman Indonesia, Jim Allen Abel, Mujahidin dan Valasara. Gagasan Millet dan Mathilde lebih personal, kendati dengan arah yang berbeda. Millet berangkat dari aspek kognitif, yaitu pengetahuan sejarah manusia Renesans—termasuk aspek maneris dalam budaya Renesans dan kepekaanya pada teknik fotografi lama. Mathilde lebih menyuruk pada aspek psikis dan mistik yang terejawantah pada lukisannya. Ketiga seniman Indonesia kontennya lebih politis dan kritis, merepresentasikan kondisi mutakhir. Begitupun, konten atau pesan yang disampaikan tidak mudah terbaca, yang lebih kuat hadir adalah kekuatan visual, atau estetiknya.
Kelima karya seniman menunjukkan genealogi modernisme, dalam hal membangun “jarak” dengan keseharian, kendati tetap memiliki potensi sebagai representasi. Karena itu karya-karya kelima seniman ini menjadi transendental, melampaui keseharian. Kelima seniman ini dapat mensublimasi gagasannya ke dalam bahasa rupa, menjadi karya yang secara perseptual menggerakkan sense, kontemplasi dan transendensi pemirsa. Hal itu agaknya yang lebih kita butuhkan dalam keriuhan budaya visual digital saat ini.
Asmudjo J. Irianto
There is a tension between aesthetically and politically correct in contemporary art. This is inextricably linked to the conflict between modernism and postmodernism. Contemporary art combines both concepts. On the one hand, art's autonomy continues to exist. On the other side, it is expected that works of art can provide a critical perspective on human and global issues. Obviously, nothing in art is truly aesthetically or politically correct. These two elements have always comprised an artist's ideas and work. The meanings of aesthetics and politics are fluid and inextricable from their respective histories. Furthermore, the artist cannot be divorced from his or her social, cultural, and political history, which determines his or her artistic preference.
This exhibition features two French artists, Laurent Millet and Mathilde, as well as three Indonesian artists, Jim Allen Abel, Mujahidin, andValasara. Millet and Mathilde's ideas are more personal, yet they go in different directions. Millet departs from the cognitive aspect through his understanding of Renaissance history, including the mannerist aspect of Renaissance culture, and his use of antique photographic techniques. Mathilde is more interested in the spiritual and mystical aspects embodied in her painting. The content of the three Indonesian artists is more political and critical, reflecting current issues. Likewise, the content or message conveyed is not easy to read, what is stronger is its visual or aesthetic quality.
The works of the five artists reveal the genealogy of modernism in terms of establishing a "distance" from everyday life yet retaining representational capacity. In result, the works of these five artists have become transcendent, transcending daily life. These five artists are able to sublimate their ideas into visual language, resulting in works that affect the viewer's perceptions, contemplation, and transcendence. In today's frantic digital visual culture, this seems to be what we need more of.
Asmudjo J. Irianto